Incurable Disease


“Hari ini cerah!” seru Nanda sambil mengantongi stetoskopnya.
“Bagiku tidak,” bantah Fian dengan sorot mata kosong, menatap jauh di depannya.
“Bukankah kau sudah tahu berapa lama lagi sisa waktumu,”
“Kau! Bukankah itu terdengar kasar?” protes Fian terdengar tak senang.
“Kau tidak bisa terus-terusan diam seperti ini, kalaupun kau meninggal besok matahari tetap bersinar secerah ini, tak ada yang merasa buruk karenamu,” kata Nanda.
“Sudah selesai mengejekku? Ch! Dokter seperti apa kau itu!” bentak Fian dengan wajah sangar sekaligus terlihat kesakitan.
“Manusia seperti apa kau itu?” balas Nanda terdengar santai namun mencelos hati.
“NANDA!” bentak Fian kali ini benar-benar marah.
“Pikirkan sekali lagi, kau bukan anak sepuluh tahun lagi yang hanya bisa menyalahkan keadaan dan orang di sekitarmu untuk menutupi kesalahanmu. Apapun yang terjadi pada hidupmu itu kesalahanmu, karena itu pilihanmu sendiri.” ujar Nanda begitu tegas dan menatap kedua bola mata Fian yang tak lagi bersinar tanpa berkedip.
“Apa yang kau tahu, hah? Jangan menasehati hal yang tak kau ketahui!”
“Bukankah kau sudah berlebihan? Berhentilah beranggapan hanya kau yang merasa paling kecewa di dunia ini. Untuk apa menyalahkan perceraian orang tuamu? Kau hanya mengarang alasan untuk bisa mencoba hal-hal terlarang, kau tahu dunia yang kau datangi akan merusakmu, tapi kau tetap memilih di sana dan bersenang-senang,” serang Nanda mengeluarkan semua yang mengusik pikirannya sejak bertemu lagi dengan Fian.
“Fian yang dulu kukenal sepertinya sudah lama mati. Yang kulihat sekarang hanya seorang pasien HIV-Aids yang sedang pasrah menunggu ajalnya. Kau salah, aku tahu rasanya berada dalam kekacauan broken home, tapi aku berbeda, aku punya tujuan hidup dan tidak menjadikan itu alasan untuk lari dari kesulitan hidup. Aku berbeda, aku tak akan memilih menghabiskan hidupku dengan hal sia-sia. Kau menyesal sekarang?” tutur Nanda tanpa berhenti menyudutkan Fian. Mengacak-acak pikirannya yang sudah penuh dengan ketakutan.
“Kau memamerkan dirimu sekarang untuk balas dendam karena kuputuskan dulu, kan? Kau harusnya berterima kasih padaku.”
“Hah! Aku jadi semakin kasihan padamu, kau ternyata benar-benar sudah rusak. Yang kukatakan bukan karena masa lalu kita, tapi karena kau terlihat sangat terpuruk, dan kau masih tidak sadar kalau kau menghabiskan hidup tanpa tujuan dan begitu sia-sia?” tanya Nanda dingin dengan tatapan tajam.
 “Kau sudah selesai mengomel? Aku memang memilih jalan hidup yang salah, aku memang pengidap HIV, lalu kenapa? Meskipun aku buruk setidaknya aku merasa bebas.”
Tak terduga Nanda justru tertawa, wajah Fian yang semakin tirus dan pucat terlihat gerah dengan pembicaraan mereka. “Kau masih saja merasa bebas? Kau tidak pernah hidup dengan kekuatanmu sendiri, didikte oleh ketua gengmu yang sok berkuasa, kau tidak berdiri dengan kakimu yang sok kuat itu. Bahkan kau bisa bergabung di pergaulan bebas kelas elit itu karena harta keluargamu. Aku mengatakan semua ini supaya kau sadar, karena dari dulu kau menghindari masalah bukan berarti masalah itu menghilang, beban itu terus menumpuk dan kini memaksamu untuk menyelesaikan semuanya. Aku percaya kau tidak terlalu bodoh untuk berpikir tetap lari dari tanggung jawabmu, buang jauh-jauh pikiranmu untuk mati membawa rahasia kelompok gangster yang menjeratmu.” tutur Nanda begitu serius.
“Kau tidak tahu kesetiaan? Selama ini hanya mereka teman yang setia padaku.”
“Setia karena hartamu. See? Tidak satupun yang mempedulikanmu sengsara di rumah sakit. Semua keputusan ada padamu, ini kesempatan terakhir untuk mengubah hidupmu yang sia-sia itu, bekerja samalah dengan kepolisian untuk membongkar pengedaran narkoba dan skandal penularan Aids, atau kau hanya meninggal sia-sia di bawah tawa dan ledekan geng yang kaulindungi itu.” kata Nanda tegas dan cepat lalu beranjak meninggalkan Fian yang kemudian termenung menatapi matahari yang berangsur senja.
Mungkin kata-kata yang keluar dari mulut Nanda memang benar, hanya saja ego di hati Alfian masih tak ingin membenarkannya. Dan meski ia sadar bahwa hidupnya yang selama ini dibuatnya hancur berantakan memang salah, tapi harga diri yang tinggi tetap mengakui bahwa hidupnya tidak buruk, ia hanya mencari kebebasan. Saat berumur 15 tahun Fian mulai dikenalkan dengan kehidupan malam, klub-klub yang berisik dan dipenuhi huru-hara kenakalan. Saat itu orang tua yang dihormatinya dengan egois memutuskan cerai dan membuatnya merasa ditelantarkan. Bagi Fian yang baru menginjak masa puber, kehidupan malam yang bebas lebih menyenangkan dibandingkan saran-saran dan teguran keras dari Nanda yang tiap hari berlalu-lalang di telinganya.
Awalnya Fian hanya datang dan pergi menikmati suara musik yang memekakkan telinga dengan keramaian klub malam, namun dunia barunya mengajarkan hal yang lebih menyenangkan dibanding sekedar duduk-duduk dan menonton para penari-penari disko. Minuman keras. Satu-dua teguk ternyata berhasil membuatnya jatuh hati, menghipnotis Fian untuk minum lagi dan lagi. Seperti kebiasaan, seperti ada hasutan keras yang mengikatnya untuk berbaur dengan orang-orang yang mencintai kehidupan malam, pergaulan bebas, tanpa siapapun yang melarang, tanpa harus memikirkan hal-hal rumit yang terjadi di luar dinding klub bercahaya temaram itu.
Narkoba bahkan menjadi teman karibnya melebihi siapapun atau apapun, merasa begitu damai dengan hidupnya yang ditemani pil ekstasi. Seperti membisikkan lelucon di telinganya yang menghadirkan rasa gembira yang berlebihan, merasa ada gelitikan di jantungnya, membuatnya terus tertawa. Fian. Alfian Anggara sama seperti anak-anak lainnya, hanya membutuhkan perhatian dan sedikit kasih sayang, jika tak mendapatkan itu dari rumah yang hangat maka ia akan mencarinya di luar, tempat-tempat yang seharusnya tak layak didatangi calon penguasa negeri.
***
            “Hasil pemeriksaanmu hari ini stabil, besok siang kita ada jadwal terapi, kau tidak masalah dengan saranku, kan?” tanya Nanda dengan suara lembut dan wajah yang tersenyum menyenangkan, selalu sama seperti senyumnya delapan tahun yang lalu, sederhana dan indah.
            “Ya, lakukan saja,” kata Fian sambil meletakkan kembali tablet pc di atas meja.
            “Soal yang sebelumnya, aku minta maaf,” ujar Nanda, matanya terlihat sendu.
            “Maaf juga karena membentakmu.” balas Fian lalu beranjak keluar kamar rawatnya.
            Nanda dengan lesu meninggalkan Fian, kembali ke ruangannya, terduduk diam dengan pikiran amburadul, menarik kembali kenangan-kenangan dimana ada ratusan hari yang dihabiskannya bersama lelaki malang itu. Berharap banyak Fian merubah keputusannya untuk diam dan menyetujui permintaannya untuk memutuskan jaringan besar pengedar narkoba di ibukota.
            “Nan, kenapa aku harus mengikuti kata-katamu dibandingkan menjaga rahasia kelompok kami?” tanya Fian mengejutkan. Spontan Nanda berhenti mendorong kursi roda yang diduduki Fian.
            “Karena ada banyak orang di luar sana yang akan menderita sepertimu, jangan biarkan mereka terjebak juga, jika pengedar itu tidak ada, anak-anak di luar sana yang sedang sakit hatinya bisa memilih jalan sepertiku, melarikan diri dengan kesibukan sebagai pelajar. Kau bisa melakukan hal berguna untuk banyak orang, Fian,” jawab Nanda berusaha meyakinkan lelaki yang semakin kurus dan sayu itu, tampak fisiknya begitu letih dan rapuh.
            “Kalau kau tahu kenyataan yang keluar dari mulutku, kuminta jangan tinggalkan aku seperti orang tuaku, setidaknya temani aku sampai waktunya tiba.” pinta Fian seketika menggali kuburan di hati Nanda, membangkitkan kembali semua kenangan-kenangan yang telah dikurung begitu rapat.
            “Seperti dulu, aku hanya akan pergi saat kau suruh pergi.” kata Nanda keluar begitu saja tanpa sempat otaknya berpikir lagi.
            Sehari setelahnya Fian menyanggupi penyelidikan yang dilakukan polisi, membeberkan semua yang diketahuinya selama terlibat dengan agen pengedar narkoba terbesar di kota metropolitan yang begitu gemerlap ini. Tanpa ragu mengatakan rahasia besar tentang skandal penyebaran HIV-Aids di negeri ini. Mencengangkan, menjijikkan, mengerikan adalah gambaran tepat untuk para pecinta kehidupan malam.
            “Alasan penyebaran Aids sangat cepat karena itu adalah misi salah satu komunitas cosmo. Anggota komunitas cosmo kebanyakan dari berbagai negara dan mempengaruhi anak Indonesia, mereka menyebarkan Aids dengan banyak cara, dari suntikan, berhubungan langsung, ataupun cara-cara sederhana yang tak terpikirkan. Tusuk gigi di rumah makan, hati-hati dengan itu, itu bukan sekedar omongan iseng, penyebar virus itu seperti terobsesi untuk balas dendam, mereka bahkan memiliki target jumlah penderita Aids.” papar Fian.
            “Hampir semua yang ditargetkan mereka adalah siswa SMA, tapi tak sedikit juga pejabat yang jadi korban. Jadi jangan terlalu berburuk sangka mengira melonjaknya angka penderita Aids semata-mata karena kenakalan remaja, di balik itu ada rencana besar untuk merusak generasi yang berpikiran sempit dan mudah dirayu.” sambung Fian.
            “Lantas kenapa Anda tidak segera melaporkan ini pada kepolisian?” tanya salah satu polisi yang menginterogasinya.
            “Salah satu petinggi kalian adalah pelanggan setia kami, lagi pula bagiku orang-orang yang sangat mudah dirayu dan dipengaruhi tidak dibutuhkan untuk kemajuan negeri, lebih baik setengah dari penghuni negara ini mati dan tersisa orang-orang yang benar-benar berbakat dan bijaksana. Aku bahkan tidak terlalu yakin apakah hasil investigasi kalian bisa meringkus agen-agen besar kami, karena sama saja kalian memburu musuh dalam kandang sendiri, tersembunyi di bawah selimut kalian.” ledek Fian yang santai langsung menyulut emosi salah seorang polisi dan mengakhiri interogasi hari itu.
            “Nan, kamu pernah bilang ada negara yang sangat ingin kau tinggali,” kata Fian saat keduanya duduk di sebuah bangku taman rumah sakit yang panjang di bawah pohon dengan daun yang rimbun. Keduanya saling mengarahkan pandangan ke langit yang mulai berganti senja, jingga dengan awan kelabu.
            “Ya, sayangnya sampai sekarang belum kesampaian,” kata Nanda lalu tersenyum.
            “Kalau aku hanya berpikir hidup ini suram maka sampai mati aku hanya memiliki kenangan yang tak menyenangkan, kau juga bilang itu.” kata Fian lagi dan untuk pertama kalinya tersenyum. “Bantu aku melihat hari yang cerah, aku sekarang ingin punya kenangan indah untuk kubawa mati. Kanada, itu bukan tempat yang buruk untuk menghabiskan waktu.”
            “Fian,” ucap Nanda tak mengerti atau tepatnya kehilangan kata-kata.
            “Aku tak peduli kau masih menyukaiku atau sebaliknya, tapi untuk teman lamamu yang kurang bahagia ini, berbaik hatilah sedikit dan ini permintaan terakhirku.”
            “Tapi penyakitmu harus diobati,”
            “Di sana aku bisa mendapat perawatan yang lebih canggih, karena ini penyakit yang tak tersembuhkan, aku hanya ingin pergi dengan keadaan lebih baik dan hidup yang benar.”
            “Kau terdengar seperti Alfian Anggara yang dulu kukenal,” ungkap Nanda.
            “Jadi kau mau atau tidak?” tanya Fian lagi.

            “Ya, tentu saja.” angguk Nanda dan keduanya saling tersenyum, senyuman hangat yang ingin selalu mendebarkan.

oleh: Farida
Teknik Industri FT-Unsyiah 12